Minggu, 08 Februari 2015

Have I Ever?

Hari ini  kupikir aku masih punya waktu setidaknya 2 hari lagi. Sekitar 48 jam. Ternyata, saat aku memasuki ruangan yang selama seminggu ini menjadi saksi perjuangan dan ketidaktotalitasanku, aku menyadari sesuatu...

Rupanya aku bukannya masih memiliki waktu dua hari lagi. Tapi aku hanya tinggal memiliki waktu selama dua hari lagi. Sama-sama dua hari, tapi esensinya berbeda ketika aku memaknainya dengan cara yang berbeda.

Have i ever? 

Pertanyaan ambigu yang tiba-tiba bermunculan di kepalaku. Mendapati ruangan ini tak seramai, senyaman, dan semenyenangkan seperti seminggu yang telah berlalu kemarin. Aku baru tahu bahwa hari ini seharusnya tidak ada pembinaan lagi. Tapi beruntung karena bukan haya aku satu-satu yang tidak tahu. Ada beberapa, sekitar 6 siswa.

Have i ever?

Pertanyaan aneh itu selalu membelengguku. Masih membelengguku. Terus membelengguku.

Have i ever? 

Sebaris pertanyaan tidak jelas itu barangkali seperti ini lengkapnya : Pernahkah aku menyadari tentang segala kesalahanku? Pernahkah aku mencoba memperbaiki segala ekkuranganku? Pernahkah aku merasa siap?

Aku memikirkan semuanya sampai entahlah...

Tok-tok-tok...

Seseorang mengetuk pintu. Di ruangan yang kini hening.

Ternyata si pengetk pintu adalah teman-temanku yang lainnya. Yang seharusnya berada di sini juga.

Kembalilah suasana ruangan ini seperti seminggu terakhir. Kembali menyenangkan.

Have i ever?

Pernahkah aku?


Ya, aku memang belum pernah merasa puas pada usahaku. Dan itu bukan karena aku tidak belajar, but it because i will never ever be satisfied to learn-learn-learn-and learn indeed...

Jumat, 06 Februari 2015

D-3,5 for my last chance

Semua orang memiliki cita-cita, impian, dan target untuk masa depannya. Begitu pun aku.
Aku pernah membaca novel yang berjudul Selalu Ada Kapal Untuk Pulang karya Randu Alamsyah. Dalam novel itu dikisahkan tentang dua orang lelaki yang bersahabat karib sejak kecil. Dunia seolah milik mereka. Persahabatan yang indah. Namun nasib mereka tidak sama. Apin adalah anak dari seorang pasangan kaya dan terpandang. Sedangkan Poy sebaliknya. Namun perbedaan itulah yang menjadi kekuatan dalam persahabatan mereka. Poy dan Apin, the never ending friends...

Tapi yang menjadi dasar dari apa yang akan aku ceritakan bukanlah persahabatan mereka yang lekat seperti jiwa itu. Tapi, tentang perjalanan mimpi mereka. Bisa dikatakan persahabatan mereka yang demikian lekat itu bahkan membuat mimpi dan obsesi mereka sama. Seorang guru.

Mimpi yang pada awalnya tampak sangat sederhana dan dekat itu, ternyata berubah. Di tengh perjalanan yang mereka tempuh demi menggapai mimpi itu, semua berubah. Lebih tepatnya mereka yang berubah. Ambisi itu berubah, mimpi yang indah dan sederhana itu...tidak sama lagi.

Poy memilih menjadi seorang guru sukarelawan di sebuah pesantren di daerah yang bahkan terabaikan oleh peradaban, Luwuk. Mimpi Poy yang semula luar biasa (baginya) itu kini menjadi amat sederhana : seorang guru yang penuh pengabdian dan dedikasi.

Tidak hanya Poy, Apin pun berubah. Bukan seorang guru sukarelawan, tapi jauh lebih canggih lagi : politisi ulung.

Bertahun mereka terpisah, demi menapaki jalur yang sama sekali berbeda. Dan menjadi awal baru bagi kisah hidup mereka... Hingga mereka paham bahwa cita-cita sebenarnya tidak pernah menjadi sederhana...

Andai aku bisa bercerita. Tentang betapa besar ambisi yag bergejolak dalam diriku, jiwaku. Semenjak dulu, ketika aku mulai mengenal apa itu bercita-cita. Namun hingga kini, aku masih belum mampu menggenggam apa yang selama ini menjadi ganjalan besar dalam diriku : kemenangan.

Yah, aku sadar. Aku tidak pernah benar-benar berusaha. Tidak pernah benar-benar membenahi diri atas segala kekurangan dan kesalahan di masa lalu. Bahkan aku selalu menghitung jumlah kegagalanku. Tanpa berusaha memperbaikinya dengan nyata, hanya kata-kata...

Dan tibalah aku kini di puncak ujung kesempatan yang masih kupunya. Bisa dikata, kesempatan terakhirku untuk menjadikan semuanya nyata. Dan bodohnya aku masih merasa, aku belum berbuat apa-apa untuk mempersiapkan diriku menjemput kemenangan.

Hari bergati. Dari H-365 menjadi H-30. Terus menyusut hingga H-7. Dan tanpa terasa hari ini sudah menjadi H-4. Bukan, lebih tepatnya h-3,5.

Apa aku siap? Entahlah. Di sini, di ruangan ini, bersama 10 orang teman-teman yang juga sedang berusaha menggapai mimpi yang sama denganku ini, aku masih bisa bermimpi. Semoga akulah satu di antara orang-orang yang mendapat kesempatan untuk terus belajar dan menjadi sang pemenang.

Biarlah tahun lalu menjadi catatan kegagalan ke-5-ku. Biarlah. Aku tidak akan perduli lagi. Segala yang berlalu tetap akan berada di masa lalu. Tidak masalah buatku hari ini, atau pun besok...

Yang pasti, aku tidak pernah menyesal. Semua ke-belum-berhasil-an itu mengjari satu rumus baru dalam kehidupan, "Untuk berhasil, bukanlah dengan menghitung jumlah kegagalan yang pernah dilalui. Melainkan dengan mengkalkulasi seberapa besarkah kesempatan yang masih kita miliki. Lalu mempersiapkan diri untuk menang, bukan menerima kegagalan."

Di hari yang indah pada H-3,5 menuju kesempatan terakhirku ini, aku akan berkata, "Bahwa aku pasti bisa. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan semuanya lagi..."



Bersama jiwa yang penuh semangat, harapan dan keyakinan,
Sang calon pemenang,


Nanda.