----Preface: Hello. Ini adalah karya keduaku yang di-publish ke majalah sekolah, yang pertama dulu pas jaman SMP hehehe.... Wish you like it! :)
(GIF source: https://data.whicdn.com/images/316870125/original.gif)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jika ada yang tanya, “Dua hal
yang kamu sukai di dunia ini?”, maka
jawabanku adalah, “Senja dan bintang.” Senja dengan paras orange
sederhana berbalut
semburat aneka warna, selalu memesonaku. Paduan warna senja adalah gradasi
terbaik seantero jagat.
Senja selalu setia menunggu datangnya
malam. Malam yang penuh bintang. Selain itu,
dialah satu-satunya yang bisa menerjemahkan hatiku, perasaanku.
Aku melihat seorang nenek tua
menyapu jalan yang berpayung jingganya lazuardi senja. Aku jadi ingat, dulu setiap jam-jam seperti ini, telah menjadi rutinitas ngobrol bersamanya. Dengannya, waktu mengalir cepat. Momen menikmati matahari
terbenam bersamanya selalu terasa cepat berlalu. Sekarang, semua tinggallah cerita. Sebatas
ingatan yang hanya bisa kusesali, kenapa dulu aku tidak memanfaatkan saat-saat bersamanya? Sekarang, aku hanya bisa menyesali
semuanya. Menangis diam-diam, pura-pura baik-baik
saja. Meski rasa
sakit masih menjadi menu harianku, pagi,
siang, sore, bahkan jika aku terbangun di tengah sunyinya malam.
Andai aku bisa memilih, aku juga
tak mau begini. Tidak di rumah dari jam enam pagi hingga jam enam sore. Berkutat dengan pelajaran selama
12 jam—hampir
penuh. Aku rindu suasana rumah. Apa aku kelewatan?
Katanya, berusaha di atas
rata-rata orang lain itu lebih baik. Lelah,
aku lelah menangis setiap pulang,
lelah bertengkar dengan Ibu. Seperti Minggu itu. Ibu melarangku pergi dengan teman SMPku, “Kamu tiap hari
tidak ada di rumah, apa Minggupun
kamu tidak ingin menemani Ibu menjaga adik-adikmu?”
Entah
angin apa, aku berani menentang Ibu. “Ah, Ibu, aku juga butuh refreshing, aku
lelah, seminggu ini apa aku pernah main?”, jawabku ngotot. Aku menyesal setiap kali
mengingat hari itu.
Malam
itu bukan malam yang indah untukku,
tidak ada bintang di langit. Hari itu senja
juga tak seceria biasanya. Dari jendela rumah sakit, kulihat sebuah keluarga, lengkap
dan bahagia, berfoto ria
di partisi jalan yang berkilat-kilat
warna-warni lampu jalan. Di tengah hiruk-pikuk kota yang
ramai dengan peradaban malamnya, aku bak tersingkir dan terasingkan di balik
tralis besi kamar lantai dua rumah sakit.
Apa yang kulihat di luar dan di sini sangatlah kontras. Di luar, di jalan-jalan,
ada berupa-rupa kebahagiaan.
Sedangkan di sini hanya ada rona kesedihan dan rasa takut kehilangan.
Aku
duduk di samping ranjang rumah sakit, memeluk
seonggok tubuh tak berdaya di atasnya, menatap lamat-lamat wajahnya.
Garis-garis keibuan masih terpancar
di balik cahayanya yang semakin redup. Aku diam,
menangis dalam diam, menyesal.
Sebersit
angin dingin menerpa tengkukku, suara-suara gaduh membangunkanku. Aku bingung, aku tak lagi melihat tubuh renta Ibu.
Aku bangkit dari sofa, entah siapa yang menidurkanku di sofa, dengan kalut
bertanya pada Ayah, “Ayah, Ibu di mana?” “Tenanglah Nak, ibu bersama dokter di ICU. Ibu tidak
papa,” aku tahu Ayah setengah berbohong, aku kalang
kabut mencari ruang ICU. Berharap Ibu
benar-benar baik-baik saja.
Dari
balik pintu kaca aku
lihat wanita kesayanganku itu terbaring
di atas kasur dengan berbagai macam kabel. “Ibu kenapa?” Dengan gotai aku mendekati
ranjang Ibu. Air mata
tak tertahankan, liar menuruni lekuk-lekuk wajahku. Kugenggam tangan Ibu,
kubisikkan kata-kata maaf dan penyemangat, kuceritakan hal-hal yang kuingin lakukan
bersamanya, kuharap berguna. Ibu membalas genggamanku, matanya terbuka, kini cahaya di
matanya benar-benar redup. “Ya, Alloh, tak kuat aku melihatnya begini,”
batinku. “Jangan
nangis. Ibu nggak
akan ninggalin kamu kok. Seperti senja, seperti gemintang yang setia menemani bulan
menghiasi permadani
malam. Ibu selalu di sini, di hati kamu. Jangan
nakal, bantu ayah jagain
adik-adikmu. Kalau
libur, jangan main terus. Belajar. Jangan kecapaian. Ibu nggak mau
kamu dimarahin ayah. Ibu
sayang kamu, adik-adikmu, ayah, nggak berkurang sedikitpun,”
suara Ibu parau oleh air mata. “Ibu ngomong apa sih, Ibu akan selalu ada di
sisi kami. Selamanya.
Ibu sembuh kok, setiap libur sekolah, aku janji akan menghabiskannya bersama Ibu,” air mata benar-benar
bebas bermanuver di wajahku, tak perduli. Di luar, hujan turun sama lebatnya.
“Kanaya, dengar Ibu. Masih ada banyak hari yang
harus kamu lalui. Hari-hari
baru, tanpa air mata, selalu ada cerita baru setiap
harinya. Dengan atau tanpa Ibu, kamu
harus bisa membuat cerita baru itu indah. Janji sama Ibu, kamu akan hidup
bahagia sama adik dan ayahmu.
Setelah hari ini, Ibu yakin tidak ada alasanmu sedih lagi. Percayalah.” Aku menggeleng, menggenggam
tangannya semakin erat.
***
Tahun
ini aku merayakan tahun baru di sekolahku. Aku benar-benar sudah memiliki hari-hari
baru itu. Hari-hari baru setelah satu tahun lalu. Ibu benar, semua berjalan dengan
sendirinya. Seperti kesetian senja pada malam, Ibu selalu ada di hatiku.
“Bukankah
menyenangkan, untuk melihat setiap hari sebagai hari baru yang indah dan bersih
dari kesalahan?” –Anne Shirley. (@NandaVerunaEK XA6)
(Pict source: https://cdn-asset.hipwee.com/wp-content/uploads/2016/10/hipwee-seorang-gadis-di-dalam-senja-750x422.jpg)