Bagai
kerdipan mata, setahun telah berlalu. Tiga ratus enam puluh lima hari melesat
bak peluru menyisakan sebuah kenangan yang beraneka rasa. Beberapa tempat di
belahan lain dari dunia ini, barangkali telah mendahului kita menyongsong detik
pertama di tahun 2016.
Banyak
hal telah terjadi sepanjang tahun ini dalam hidupku. Sederatan panjang
kegagalan yang hadir silih berganti seperti gerbong-gerbong kereta yang
berjalan. Gerbong-gerboong kegagalan itu melintas menyusuri hidupku. Mungkin
tidak etis aku menyebutnya kegagalan. Mungkin semua itu hanyalah
kesempatan-kesempatan yang telah berhasil kusia-siakan. Ah, sepertinya bukan.
Mereka adalah kemenangan yang tertunda. Haha, slogan itu terdengar mengada-ada
sekali. Bagaimana mungkin jadwal kehadiran gebong-gerbong keberhasilan selalu
dan selalu saja tertunda singgahnya di stasiun penantianku? Apakah aku telah
menunggu di stasiun yang salah?
Setahun
berlalu. Dari setiap silih bergantinya hari, semakin banyak kegagalan yang
dengan tragis ‘berhasil’ kutuai, semakin banyak pula kesempatan yang
terlewatkan, meskipun juga tak sedikit kebahagiaan yang kucapai.
Di
awal tahun 2015, sudah diganggu dengan adanya keinginan untuk kembali mengikuti
sesuatu yang telah tertunda setahun sebelumnya. sesuatu yang telah kutunggu
setahun lamanya. OLGENAS 2015. Sejak kali pertama melihat posternya dan seorang
‘kakak alumni saba’ yang merupakan ketua panitianya mengundangku untuk kembali
berpastisipasi, aku segera berusaha mencari ide esai dan studi kasus. Saat itu
‘seorang teman’ yang mana adalah partnerku sedang memperjuangkan mimpinya di
tempat lain. Kali itu aku berhasil membuat esai dan studi kasus yang lebih
menarik dan realistik dari pada tahun lalu. Aku bahkan sudah optimis dapat
meraih hasil lebih baik. Hanya saja,
poster dan karya foto belum selesai hingga minggu-minggu terakhir pengumpulan.
Si ‘teman’ tadi sudah kembali. Tapi, ternyata semua kembali sia-sia. Aku
melewatkan keinginan besar yang kutunggu setahun lamanya. Tapi aku tetap
berusaha baik-baik saja. It’s okay, it’s not the everything!
Bulan
April, aku kembali memperjuangkan impianku sejak kali pertama masuk SABA dan
memutuskan bergabung ke klub ‘itu’ -sulit sekali mengucapkannya-. Aku bahkan
sudah merelakan diri keluar dari zona nyaman dan memasuki dunia yang Sembilan
pululuh koma empat tujuh enam satu sembilan kosong lima persen baru bagiku. Ya,
hanya sahabat karibku dan dirikulah yang membuat semuanya tidak sempurna 100. Aku
merasa bahwa kali ini aku sudah sangat lebih siap. Meskipun pendampingannya
tidak seintensif dulu, tapi aku lebih menikmati tahun ini. Aku merasa seperti
akan mendapatkannya tahun ini. Tapi, ya Allah. Runtuh sudah langit-langit
pengharapanku. bintang-bintang harapan yang kugantungkan bertahun-tahun lamanya
berjatuhan menimpa diriku sendiri. Dan yang lebih menyakitkan, lagi-lagi aku
‘hampir’ bisa meraihnya. Dua teman yang selama ini berjuang sama lamanya
denganku, berhasil. Menyisakanku yang…(sulit mengatakannya. Tapi ini
sangat-sangat-sangatxxx buruk). Hmm… Kembali, aku memasrahkan segalanya
pada-Nya. Meski semuanya menyakitkanku, meski aku harus menunggu hingga berminggu-minggu
untuk dapat mengatakannya pada ibu dan bapak, meski aku harus mengubur semuanya
sedalam mungkin, meski aku harus memandangi awan dengan menyedihkan, aku
berusaha untuk ikhlas. Setidaknya Allah sudah mengabulkan doaku. Sebuah doa
bodoh yang MENYEDIHKAN!
Beberapa
minggu berlalu. Seorang guru Bahasa Indonesia mencariku. Dia guruku kelas satu
dulu. Beliau memintaku ikut lomba cipta puisi. Oh, senangnya. Mungkin ini cara
Allah menghadirkan kebahagiaan yang kutunggu-tunggu itu. Sebulan lamanya aku berusaha
membuat puisi yang layak. Setiap Kamis dan Sabtu berlatih bersama ‘seorang
teman’ yang dia mengikuti lomba baca puisi. Bahkan di beberapa hari terakhir
menjelang hari-H, kami mengunjungi rumah Pak Rodi untuk mempresentasikan usaha
kami. Sebuah puisi berjudul ‘Di Persimpangan Jalan’ yang juga mendapat arahan
dari Pak Rodi. Ternyata malamnya bu guru dan anak serta suaminya datang ke
rumah. Ihhh…ilfeel sama diriku sendiri malam itu. Aku gak mau cerita!!!!
Pokoknya mereka bilang puisiku kurang. Dikasih masukan ini itu. Dan ya, semalam
suntuk aku berjuang membenahinya. Paginya saat di bis menuju TKP yaitu SMA 4
Banguntapan Bu Yulia cukup senang melihat puisi yang telah sedikit kurombak.
Aku kembali optimis. Tapi ternyata, di sana masih ada pengerucutan tema.
Terpaksa aku harus memikirkan puisi yang sesuai dengan tema yang disediakan.
Saat itulah aku sadar, membuat puisi untuk sebuah kemenangan dan dibatasi oleh
batasan-batasan yang telah ditentukan itu sangat sulit. Akhirnya aku hanya
mengeluarkan puisi ‘itu’. Dan tibalahh saat pengumuman, ternyata aku sama
sekali gagal. Sejak saat itu aku jadi takut melihat guruku itu L. Memang benar kata putra guruku malam itu, “Menulis
puisi itu memakai perasaan.” Ya, bukan ambisi! Setidaknya aku belajar satu hal
lagi dari kejadian itu. Sesuatu yang sepatutnya tetap kusyukuri.
Aku
juga sempat mengikuti JRCI di Teladan sebagai peserta CCA. Tapi gagal juga,
malah pulangnya ketilang 50k, dan sampai rumah udah ditinggal sama rombongan
pemuda makan-makan … Sedihhhh!!!
Memasuki
bulan Agustus. Tiba-tiba saja Bu Yanti mendaftarkanku, Mauli, dan Ridho sebagai
wakil kelas dalam seleksi Anugrah Ki Hajar 2015. Aku pesimis sih, karena aku
tidak belajar. Lagian lawanku berat, juara 1-3 dari setiap kelas 12 IPA. Mereka
jagoan, apalagi CI. Kalau pun ada yang berhasil dari kelasku, itu pasti bukan
aku. Eh, ternyata hasilnya mengejutkan. Aku medapat nilai yang lebih baik dari
teman-temanku. Dan akhirnya malah aku, Fadilah, dan Orchid yang lolos mewakili
ke tingkat Provinsi. Digelar di kantor BTKP DIY di dekat Mandala Krida. Kami
bertiga naik otor ke sana siang-siang bahkan sampai bolos. Ngenes ya? Enggak
kok K Di sana di tes
ngerjain soal lagi. Kali ini lawannya sungguh luar biasa. Mana mungkin bisa?
Hahahahahahhaaha… Dengan diwarnai insiden koneksi super double lemot, acara
hari itu berakhir dengan memalukan. Nilaiku dan Orchid minus! Nggak layak
dipertontonkan di sinilah :s Tapi Fadilah beda, dia berhasil dapat skor 40.
Bahkan yang duduk tepat di samping Orcid, dia dapat lebih dari seratus. Pakshit!
Keren banget cowok ittuuuu. Ya, tentu tanpa menunggu penguman aku tahu sudah
gagal. Detik itu juga! Tapi aku tetap bersyukur. Setidaknya aku berhasil
mengalahkan teman-teman satu sekolah. Bukan mengalahkan sih, hanya saja
keberuntunganku sedang bagus! Selain itu, itung-itung buat latian tes CBT. Sore
itu kami pulang membawa muka lecek, badan capek, boks makanan ringan, co-card,
bolpoin, leaflet, dan topi BTKP. Oh, ya, dan pengalaman baru tentunya.
Dan…beberapa minggu kemudian, Fadila diumumkan masuk 20 besar. Keren!
Memasuki
bulan-bulan menjelang akhir tahun, aku lagi-lagi mencoba peruntungan dengan
ikut lomba cipta cerpen tema bebas yang diadakan Balai Bahasa DIY. Arum ikut
lomba esai. Aku sempat ragu buat ikut. Mengingat menulis karena ambisi semata
itu mustahil buatku. Tapi Arum meyakinkanku. Padahal laptopku tengah eror parah
keyboardnya. Terpaksa aku pinjam laptop Arum waktu kami ketemu di warnet. Di
sana, aku juga membantu Arum dikit-dikit banyak soal esainya. Kawan, ternyata
semua itu hanya menambah daftar panjang ke-belum-berhasilan-ku saja. Untuk ke
sekian kalinya, aku harus menyaksikan temanku berhasil sementara aku meratapi
diriku sendiri. Arum lolos sepuluh besar dan dia ikut presentasi. Tapi, aku
tetap bersyukur. Bukankah hikmahnya adalah aku tidak penasaran, berandai-andai
jika aku ikut-jika aku ikut, serta aku jadi tahu bahwa memang aku masih sangat
harus berlajar menulis dengan hati.
November
datang juga akhirnya. Ulang tahun ke delapan belas. Tambah tua, ya. tapi ada
sesuatu yang kutunggu sejak ultah ke tujuh belas. They came! Tapi nyatanya
mereka bahkan tidak mengucapkannya, kecuali beberapa ya. Yah, kawan. Tak
apalah, yang penting aku masih dikasih umur panjang. Alhamdulillah.
Menutup
tahun 2015, tidak bersyukur rasanya jika aku hanya menulis kegagalan. Karena
nyatanya juga banyak hal yang kuraih tahun ini. Sahabat-sahabat yang luar biasa
berharga, keluarga yang semakin berharga, usia yang masih dipanjangkan, urusan
sekolah yang lumayan bisa di…yah nggak enggan dibicarakanlah kalau ada yang
nanya. Meski juga Cuma biasa aja, dan hal-hal besar lainnya. Aku tidak suka
mendaftar nikmat Allah dalam hidupku. Bukan, tapi aku tidak bisa. Meski dengan
buku paling tebal dan paling lebar di dunia ini sekali pun.
Ya,
Allah. Akhirnya aku selalu bersyukur pada-Mu atas semua yang terjadi dalam
hidupku. Apa pun itu, semua adalah yang terbaik dari-Mu untukku.
Allah,
Engkaulah pencipta scenario terbaik. Aku yakin, akan datang saat di mana aku
merasa sangat bahagia. Dan akan Kau anugerahkan hidup yang lebih baik bagiku
dan seluruh keluargaku.
Setahun
berlalu memang terasa cepat. Tapi, hey! Membaca semua yang kutuliskan di atas
tadi ternyata menyadarkanku. Bahwa memang setahun itu lama. Tidak sekedar 8760
jam, 365 hari, 48 minggu, 12 bulan. Dan seharusnya waktu selama itu sudah lebih
dari cukup untuk meraih semuanya. Tapi nyatanya masih banyak gagal. Cara
terbaik menyikapinya adalah dengan bersyukur dengan sebanyak-banyaknya karena
semuanya adalah cara Tuhan mengajariku bagaimana menerima segala sesuatu dengan
keikhlasan yang luar biasa.
Selalu
ada banyak hal berharga untuk dipelajari sepanjang 2015. Semenyakitkan apapun,
2015 telah menjadi bagian yang indah dalam kisah hidupku lengkap dengan
berbagai kebahagiaan yang menyertainya. Menciptakan aneka rasa kehidupan yang
menakjubkan.
Hari
ini hari terakhir 2015. Lembaran terakhir buku catatan tahun 2015. Sudah selayaknya menjadi orang yang
lebih baik. Sudah seharusnya semakin nyata mempersiapkan masa depan yang telah
menunggu di depan mata. Tahun depan, yaitu mulai besok pagi, aku akan kembali
jadi anak kelas tiga SMA yang berjuang keras menantang UN dan SNMPTN. Semoga
doa-doaku dan kedua orang tuaku dikabulkan-Nya. Aamiin. Semoga Allah akan
melipatkan gandakan semuanya menjadi kebahagiaan yang tak terkira ketika aku
mendapat nilai UN yang membanggakan dan berhasil lolos seleksi SNMPTN sesuai
dengan apa yang kucita-cita. Aamiin.
Satu
hal yang sangat berarti dari 2015. Sebuah pelajaran hidup yang berharga,
seperti yang diwasiatkan Mas Hamim, terlalu optimis itu tidak baik. Sebaiknya
tawaduk dan tawakal.
Aku…telah
mengikhlaskan semuanya. Insyaallah.
Menutup
2015 dengan senyuman terlebar yang bisa kulakukan. Bagiku, hari ini bukanlah akhir
tahun. Tapi awal yang baru. Tahun bukan untuk dirayakan dengan hura-hura dan
kembang api, tapi bersyukur, syukur yang banyak!
#Page365of365of2015NoteBook
Kamis, 31 Desember 2015 8.57 pm @
kamar Nanda