Minggu, 03 Februari 2019

Sejingga Senjaku (CERPEN MASA SMA DULU HEHEHE)


----Preface: Hello. Ini adalah karya keduaku yang di-publish ke majalah sekolah, yang pertama dulu pas jaman SMP hehehe.... Wish you like it! :)

(GIF source: https://data.whicdn.com/images/316870125/original.gif)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jika ada yang tanya, “Dua hal yang kamu sukai di dunia ini?”, maka jawabanku adalah, “Senja dan bintang. Senja dengan paras orange sederhana berbalut semburat aneka warna, selalu memesonaku. Paduan warna senja adalah gradasi terbaik seantero jagat. Senja selalu setia menunggu datangnya malam. Malam yang penuh bintang. Selain itu, dialah satu-satunya yang bisa menerjemahkan hatiku, perasaanku.
Aku melihat seorang nenek tua menyapu jalan yang berpayung jingganya lazuardi senja. Aku jadi ingat, dulu setiap jam-jam seperti ini, telah menjadi rutinitas ngobrol bersamanya. Dengannya, waktu mengalir cepat. Momen menikmati matahari terbenam bersamanya selalu terasa cepat berlalu. Sekarang, semua tinggallah cerita. Sebatas ingatan yang hanya bisa kusesali, kenapa dulu aku tidak memanfaatkan saat-saat bersamanya? Sekarang, aku hanya bisa menyesali semuanya. Menangis diam-diam, pura-pura baik-baik saja. Meski rasa sakit masih menjadi menu harianku, pagi, siang, sore, bahkan jika aku terbangun di tengah sunyinya malam.
Andai aku bisa memilih, aku juga tak mau begini. Tidak di rumah dari jam enam pagi hingga jam enam sore. Berkutat dengan pelajaran selama 12 jamhampir penuh. Aku rindu suasana rumah. Apa aku kelewatan? Katanya, berusaha di atas rata-rata orang lain itu lebih baik. Lelah, aku lelah menangis setiap pulang, lelah bertengkar dengan Ibu. Seperti Minggu itu. Ibu melarangku pergi dengan teman SMPku, “Kamu tiap hari tidak ada di rumah, apa Minggupun kamu tidak ingin menemani Ibu menjaga adik-adikmu?”
          Entah angin apa, aku berani menentang Ibu. “Ah, Ibu, aku juga butuh refreshing, aku lelah,  seminggu ini apa aku pernah main?”, jawabku ngotot. Aku menyesal setiap kali mengingat hari itu.
          Malam itu bukan malam yang indah untukku, tidak ada bintang di langit. Hari itu senja juga tak seceria biasanya. Dari jendela rumah sakit, kulihat sebuah keluarga, lengkap dan bahagia, berfoto ria di partisi jalan yang berkilat-kilat warna-warni lampu jalan. Di tengah hiruk-pikuk kota yang ramai dengan peradaban malamnya, aku bak tersingkir dan terasingkan di balik tralis besi kamar lantai dua rumah sakit. Apa yang kulihat di luar dan di sini sangatlah kontras. Di luar, di jalan-jalan, ada berupa-rupa kebahagiaan. Sedangkan di sini hanya ada rona kesedihan dan rasa takut kehilangan.
          Aku duduk di samping ranjang rumah sakit, memeluk seonggok tubuh tak berdaya di atasnya, menatap lamat-lamat wajahnya. Garis-garis keibuan masih terpancar di balik cahayanya yang semakin redup. Aku diam, menangis dalam diam, menyesal.
          Sebersit angin dingin menerpa tengkukku, suara-suara gaduh membangunkanku. Aku bingung, aku tak lagi melihat tubuh renta Ibu. Aku bangkit dari sofa, entah siapa yang menidurkanku di sofa, dengan kalut bertanya pada Ayah, “Ayah, Ibu di mana?” “Tenanglah Nak, ibu bersama dokter di ICU. Ibu tidak papa,” aku tahu Ayah setengah berbohong, aku kalang kabut mencari ruang ICU. Berharap Ibu benar-benar baik-baik saja.
          Dari balik pintu kaca aku lihat wanita kesayanganku itu terbaring di atas kasur dengan berbagai macam kabel. Ibu kenapa?Dengan gotai aku mendekati ranjang Ibu. Air mata tak tertahankan, liar menuruni lekuk-lekuk wajahku. Kugenggam tangan Ibu, kubisikkan kata-kata maaf dan penyemangat, kuceritakan hal-hal yang kuingin lakukan bersamanya, kuharap berguna. Ibu membalas genggamanku, matanya terbuka, kini cahaya di matanya benar-benar redup. “Ya, Alloh, tak kuat aku melihatnya begini,” batinku. “Jangan nangis. Ibu nggak akan ninggalin kamu kok. Seperti senja, seperti gemintang yang setia menemani bulan menghiasi permadani malam. Ibu selalu di sini, di hati kamu. Jangan nakal, bantu ayah jagain adik-adikmu. Kalau libur, jangan main terus. Belajar. Jangan kecapaian. Ibu nggak mau kamu dimarahin ayah. Ibu sayang kamu, adik-adikmu, ayah, nggak berkurang sedikitpun,” suara Ibu parau oleh air mata. “Ibu ngomong apa sih, Ibu akan selalu ada di sisi kami. Selamanya. Ibu sembuh kok, setiap libur sekolah, aku janji akan menghabiskannya bersama Ibu,” air mata benar-benar bebas bermanuver di wajahku, tak perduli. Di luar, hujan turun sama lebatnya.
“Kanaya, dengar Ibu. Masih ada banyak hari yang harus kamu lalui. Hari-hari baru, tanpa  air mata, selalu ada cerita baru setiap harinya.  Dengan atau tanpa Ibu, kamu harus bisa membuat cerita baru itu indah. Janji sama Ibu, kamu akan hidup bahagia sama adik dan ayahmu. Setelah hari ini, Ibu yakin tidak ada alasanmu sedih lagi. Percayalah.” Aku menggeleng, menggenggam tangannya semakin erat.
***
          Tahun ini aku merayakan tahun baru di sekolahku. Aku benar-benar sudah memiliki hari-hari baru itu. Hari-hari baru setelah satu tahun lalu. Ibu benar, semua berjalan dengan sendirinya. Seperti kesetian senja pada malam, Ibu selalu ada di hatiku.

“Bukankah menyenangkan, untuk melihat setiap hari sebagai hari baru yang indah dan bersih dari kesalahan?” –Anne Shirley.   (@NandaVerunaEK  XA6)

(Pict source: https://cdn-asset.hipwee.com/wp-content/uploads/2016/10/hipwee-seorang-gadis-di-dalam-senja-750x422.jpg)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar